Rabu, 26 Agustus 2009

Bake The cake, why not?

Ah, autumn. Daun-daun kecoklatan yang mulai gugur terhampar di hadapan gadis sebelas—ralat—duabelas tahun ini. Menimbulkan bunyi gesekan cukup nyaring saat bersentuhan dengan sepatu Miyu. Sedikit kengerian—kalau tiba-tiba setitik api muncul akibat gesekan daun-daun tersebut. Jadi ia berjalan pelan, untuk menghindari hal yang dipikirkannya itu. Berharap segera sampai di kastil, namun sebenarnya ia juga suka melihat daun daun kecoklatan terbang dengan arah diagonal tertiup angin. Selembar daun kering kecil jatuh di atas kepalanya, yang segera menyingkir dengan sendirinya sewaktu Miyu melanjutkan langkahnya—kali ini lebih cepat. Tentu ada alasannya. Perutnya yang sudah tidak bisa diajak kompromi, yeah. Salahnya memang, hanya makan semangkuk kecil sup saat jam makan siang yang baru lewat kurang dari dua jam lalu. Rasa lapar yang terlambat datang--sedikit merepotkan. Membuatnya harus makan dua kali—atau lebih—kalau ingin mengatasinya.

Tujuannya? Dapur, of course. Salah satu keuntungan dapur Hogwarts dibandingkan dapur-dapur lainnya adalah : mereka tidak pernah kehabisan bahan makanan. Dan semua jenis bahan makanan yang dibutuhkan pasti ada di sana. Aha. Hebat, eh? Namanya juga dunia sihir. Ia sendiri tidak tahu kenapa para peri rumah tidak pernah kehabisan bahan. Bayangkan—kalau-kalau suatu saat Hogwarts kehabisan bahan makanan, dan tidak ada makanan yang bisa disajikan. Hah. Memalukan. Dan untungnya sejauh ini belum pernah ada insiden seperti itu. Bahkan peri rumah selalu menyediakan makanan yang enak dan melimpah setiap harinya. Membuat meja panjang di aula selalu penuh dengan jejeran makanan saat jam makan, tentunya.

Akhirnya, ia sampai di depan pintu dapur dengan corak buah-buahan yang—menurutnya—lucu. Tapi juga terkesan kuno. Miyu mendorong pintu dapur, berharap tidak ada seorangpun di sana kecuali para peri rumah. Ia lebih suka keheningan. Ingat. Tapi sepertinya ia tidak sendirian. Begitu ia masuk dan berada beberapa langkah dari pintu, sesuatu melanyang dengan indah di hadapannya, tidak sampai 20 cm di depannya. Ouch. What’s that? Miyu tetap melanjutkan langkahnya, dan menyadari seorang bocah laki-laki ada di sana. Sejauh ingatannya, ia belum pernah melihat bocah ini sebelumnya. Jadi dapat dipastikan—dia murid baru. Entah dari asrama mana. Dan…Bocah itu sudah bisa merapalkan Wingardium Leviosa dengan baik, eh? Pintar. Tapi kalau tadi benda yang dilayangkan bocah itu—yang diketahuinya sebagai kuning telur—tidak terbang dengan sempurna dan jatuh di atas kepala Miyu, tamatlah kau, nak.

“Masak apa, boy?” Ucapnya berbasa-basi dengan nada bicara yang ramah. Miyu menaikkan sebelah alisnya, memerhatikan suatu adonan di dekat bocah itu. Tampak seperti adnan kue. Hmm, bakat masak yang bagus. Kecil-kecil sudah pintar bikin kue, eh? Ia akui, Ia tidak sehebat itu. Masakan yang bisa dimasaknya hanya terbatas pada hal-hal yang sederhana. Seperti ramen, yeah. Pembuatannya cukup mudah. Untuk sesaat, ia melupakan tujuannya datang ke sini dan terfokus pada bocah yang sedang asik memisahkan kuning telur dari putihnya itu. Sekedar membantu—sepertinya ia mulai tertarik pada apa yang dilakukan bocah itu—, Miyu mengeluarkan sebuah tongkat dari sakunya, yang selalu a bawa kemana-mana—untuk antisipasi. Ia menggumamkan Wingardium Leviosa dengan pelan dan mengarahkan tongkatnya ke kuning telur yang satu per-satu mulai terangkat ke udara dan mendarat dengan indah—berkumpul bersama kuning-kuning telur lainnya.

Jangan menganggapnya ingin ikut campur, oke? Hanya sedikit niat baik yang ditujukan pada bocah itu—tanpa maksud tertentu. Lagipula ia sedang punya waktu kosong, dan ini jarang sekali. Jadi jangan sia-siakan bantuan Miyu ini. Jarang-jarang lho Miyu mau membantu, vahkan sekedar membantu orangtuanya sendiri, yeah. Ia jadi teringat Ken, saat-saat indahnya waktu mereka memasak kue bersama beberapa tahun lalu. Yang dalam sekejap menyulap dapur rumah menjadi layaknya kapal pecah. Tepung-tepung berserakan dimana-mana, tak ketinggalan pipi Miyu dan ken ynag juga menjadi sasaran. Hmm, kapan kira-kira ia bisa melakukan hal itu lagi? Entahlah. Sampai sekarang Ia belum menemui orang yang sama spesialnya dengan Ken. Suatu saat nanti, mungkin.

Compartment 9 -nine-

Holiday is over, eh? Liburan musim panas yang ia lewati tanpa Ken. Sedikit menyebalkan, tentu. Dan terasa lebih lama dari sebelumnya, karena tahun lalu ada Ken yang menemaninya. Walaupun liburan kali ini tetap diisi dengan perjalanan-perjalanan menyenangkan bersama kedua orangtuanya dan juga Yumi—adik kecilnya yang sedang senang-senangnya karena baru saja mendapat surat panggilan untuk bersekolah di Beuxbantonx. Eh? Begitukah mengejanya? A bit hard to spell it, yeah. Sepertinya Beuxbatonx memang tempat yang cocok baginya, berkumpul bersama anak-anak yang sama cerewetnya dengan Yumi. Aha. Dan itu artinya tidak akan ada yang merecokinya dengan gosip-gosip dengan topik tak penting yang—sama sekali—tidak menarik perhatian Miyu. Tidak ada gunanya. Hanya kabar angin yang belum tentu jelas kebenarannya dan malah akan menjadi masalah kalau sampai salah paham. Cuma kerjaan orang iseng yang kurang kerjaan. No, thanks. Masih banyak hal yang lebih bermanfaat daripada itu.

Manik coklat tuanya menerawang jauh ke beberapa benda persegi panjang warna merah tua yang disambung dengan rantai ukuran jumbo—sangat besar kalau dibandingkan ukuran tubuh Miyu—, sementara salah satu tangan pucatnya menarik sebuah koper sport biru tua dengan beberapa garis putih yang baru dibelinya liburan kemarin. Dan tangan yang satunya memegangi selembar tiket kereta. Hogwarts Express. Satu-satunya kereta akses menuju Hogwarts. Miyu memasuki salah satu gerbong yang letaknya tidak jauh dari kepala kereta. Hanya sekitar dua-tiga gerbong dari sana. Mengikuti jejak seseorang dengan latar belakang yang tidak jauh berbeda dengannya. Sama-sama dari Jepang—berambut hitam dan bermata sipit, khas orang Asia. Who's that? Sure, Nae.

Melihat ransel biru mudanya saja sudah cukup bagi Miyu untuk mengetahui bahwa itu Nae. Ransel yang dikenalinya sejak tahun pertamanya di Hogwarts. Milik sahabatnya, Nae-chan. Gadis yang ramah dan banyak bicara. Satu lagi—suka baca buku. Sedikit bertolak belakang dengan Miyu yang pendiam dan tidak begitu suka dengan buku. Apalagi buku pelajaran. Bukankah komik lebih menarik? Apalagi karya penulis-penulis Jepang yang sudah amat terkenal dan tentunya lebih mudah ia dapatkan—karena di negaranya sendiri. Mungkin lebih beruntung ketimbang anak lain dari luar negri yang mendapatkannya dengan susah payah. Yeah, manga-manga Jepang sudah terkenal sampai mancanegara, rite? Masa tidak tahu sih? Kasihan.

Sedikit kesulitan menarik kopernya ke atas Hogwarts Express dengan undakan yang cukup tinggi, tapi itu tidak menjadi masalah besar baginya. Dalam sekejap ia sudah dipindakan dari atmosfir dunia luar yang ramai dan dipadati murid-murid Hogwarts yang tak henti-hentinya berceloteh ataupun mengucapkan salam perpisahan dengan kedua orangtuanya sebelum berangkat ke Hogwarts. Childish—yeah. –menuju ke sebuah ruangan sempit dengan beberapa anak ruangan lain yang berjejer rapi di dalamnya. Gerbong. Sekarang ia sudah berada di dalam, tinggal mencari dimana sahabatnya itu berada. Berjalan di atas gerbong kereta yang cukup bersih, masih mengenakan setelan kaos converse dipadu celana jins dan juga sepasang sneakers putih bergaris hitam—membuatnya benar-benar terlihat santai dan sporty. Memuas-muaskan memakai pakaian bebas sebelum dikekang peraturan yang mengharuskannya mengenakan jubah hitam panjang layaknya seorang tukang ramal. Euh. Tapi setidaknya jubah Hogwarts masih lebih modern dan bukan termasuk dalam jejeran pakaian kuno di mata Miyu.

Kakinya masih terus berjalan dengan irama teratur seolah ada dirigen di otaknya yang memimpin langkah kakinya. Sementara bagian otaknya yang lain mengontrol manik kecoklatannya adar tetap memerhatikan kompartemen-kompartemen yang berjejer di sebelah kanannya. Beberapa kompartemen ia lewati begitu saja, tanpa ada perasaan tertarik sedikitpun untuk memasukinya.

Shot.

Seorang gadis Asia dengan manik kecoklatan yang mirip dengan milik Miyu—bukan sama, karena mata seperti punya Miyu hanya ada satu di dunia dan hanya miliknya. Dan rambut hitam yang kini mulai memanjang—milik Nae. Miyu membuka pintu kompartemen tersebut tanpa memedulikan tulisan yang tertera di atas pintu—nomor kompartemennya. It’s not important. Seulas senyum tersungging di bibirnya, senyum khusus untuk sahabatnya yang satu itu. “Ada tempat untukku kan?” Ujarnya singkat dan sopan dalam bahasa ibunya—bahasa Jepang. Nae pasti mengerti, rite?

Dengan kompartemen yang masih baru terisi satu orang, lebih leluasa untuk memilih tempat duduk yang nyaman. Perjalanan yang cukup jauh tidak akan menyenangkan kalau tidak dapat tempat yang nyaman. Ia mengambil tempat duduk di depan Nae—supaya lebih mudah untuk berkomunikasi—dan meletakkan koper di sampingnya. Sepertinya ia tidak akan cukup kuat untuk meletakkan kopernya di tempat barang di atas kursi. “Bagaimana liburanmu, Nae-chan?”