Rabu, 26 Agustus 2009

Bake The cake, why not?

Ah, autumn. Daun-daun kecoklatan yang mulai gugur terhampar di hadapan gadis sebelas—ralat—duabelas tahun ini. Menimbulkan bunyi gesekan cukup nyaring saat bersentuhan dengan sepatu Miyu. Sedikit kengerian—kalau tiba-tiba setitik api muncul akibat gesekan daun-daun tersebut. Jadi ia berjalan pelan, untuk menghindari hal yang dipikirkannya itu. Berharap segera sampai di kastil, namun sebenarnya ia juga suka melihat daun daun kecoklatan terbang dengan arah diagonal tertiup angin. Selembar daun kering kecil jatuh di atas kepalanya, yang segera menyingkir dengan sendirinya sewaktu Miyu melanjutkan langkahnya—kali ini lebih cepat. Tentu ada alasannya. Perutnya yang sudah tidak bisa diajak kompromi, yeah. Salahnya memang, hanya makan semangkuk kecil sup saat jam makan siang yang baru lewat kurang dari dua jam lalu. Rasa lapar yang terlambat datang--sedikit merepotkan. Membuatnya harus makan dua kali—atau lebih—kalau ingin mengatasinya.

Tujuannya? Dapur, of course. Salah satu keuntungan dapur Hogwarts dibandingkan dapur-dapur lainnya adalah : mereka tidak pernah kehabisan bahan makanan. Dan semua jenis bahan makanan yang dibutuhkan pasti ada di sana. Aha. Hebat, eh? Namanya juga dunia sihir. Ia sendiri tidak tahu kenapa para peri rumah tidak pernah kehabisan bahan. Bayangkan—kalau-kalau suatu saat Hogwarts kehabisan bahan makanan, dan tidak ada makanan yang bisa disajikan. Hah. Memalukan. Dan untungnya sejauh ini belum pernah ada insiden seperti itu. Bahkan peri rumah selalu menyediakan makanan yang enak dan melimpah setiap harinya. Membuat meja panjang di aula selalu penuh dengan jejeran makanan saat jam makan, tentunya.

Akhirnya, ia sampai di depan pintu dapur dengan corak buah-buahan yang—menurutnya—lucu. Tapi juga terkesan kuno. Miyu mendorong pintu dapur, berharap tidak ada seorangpun di sana kecuali para peri rumah. Ia lebih suka keheningan. Ingat. Tapi sepertinya ia tidak sendirian. Begitu ia masuk dan berada beberapa langkah dari pintu, sesuatu melanyang dengan indah di hadapannya, tidak sampai 20 cm di depannya. Ouch. What’s that? Miyu tetap melanjutkan langkahnya, dan menyadari seorang bocah laki-laki ada di sana. Sejauh ingatannya, ia belum pernah melihat bocah ini sebelumnya. Jadi dapat dipastikan—dia murid baru. Entah dari asrama mana. Dan…Bocah itu sudah bisa merapalkan Wingardium Leviosa dengan baik, eh? Pintar. Tapi kalau tadi benda yang dilayangkan bocah itu—yang diketahuinya sebagai kuning telur—tidak terbang dengan sempurna dan jatuh di atas kepala Miyu, tamatlah kau, nak.

“Masak apa, boy?” Ucapnya berbasa-basi dengan nada bicara yang ramah. Miyu menaikkan sebelah alisnya, memerhatikan suatu adonan di dekat bocah itu. Tampak seperti adnan kue. Hmm, bakat masak yang bagus. Kecil-kecil sudah pintar bikin kue, eh? Ia akui, Ia tidak sehebat itu. Masakan yang bisa dimasaknya hanya terbatas pada hal-hal yang sederhana. Seperti ramen, yeah. Pembuatannya cukup mudah. Untuk sesaat, ia melupakan tujuannya datang ke sini dan terfokus pada bocah yang sedang asik memisahkan kuning telur dari putihnya itu. Sekedar membantu—sepertinya ia mulai tertarik pada apa yang dilakukan bocah itu—, Miyu mengeluarkan sebuah tongkat dari sakunya, yang selalu a bawa kemana-mana—untuk antisipasi. Ia menggumamkan Wingardium Leviosa dengan pelan dan mengarahkan tongkatnya ke kuning telur yang satu per-satu mulai terangkat ke udara dan mendarat dengan indah—berkumpul bersama kuning-kuning telur lainnya.

Jangan menganggapnya ingin ikut campur, oke? Hanya sedikit niat baik yang ditujukan pada bocah itu—tanpa maksud tertentu. Lagipula ia sedang punya waktu kosong, dan ini jarang sekali. Jadi jangan sia-siakan bantuan Miyu ini. Jarang-jarang lho Miyu mau membantu, vahkan sekedar membantu orangtuanya sendiri, yeah. Ia jadi teringat Ken, saat-saat indahnya waktu mereka memasak kue bersama beberapa tahun lalu. Yang dalam sekejap menyulap dapur rumah menjadi layaknya kapal pecah. Tepung-tepung berserakan dimana-mana, tak ketinggalan pipi Miyu dan ken ynag juga menjadi sasaran. Hmm, kapan kira-kira ia bisa melakukan hal itu lagi? Entahlah. Sampai sekarang Ia belum menemui orang yang sama spesialnya dengan Ken. Suatu saat nanti, mungkin.

Compartment 9 -nine-

Holiday is over, eh? Liburan musim panas yang ia lewati tanpa Ken. Sedikit menyebalkan, tentu. Dan terasa lebih lama dari sebelumnya, karena tahun lalu ada Ken yang menemaninya. Walaupun liburan kali ini tetap diisi dengan perjalanan-perjalanan menyenangkan bersama kedua orangtuanya dan juga Yumi—adik kecilnya yang sedang senang-senangnya karena baru saja mendapat surat panggilan untuk bersekolah di Beuxbantonx. Eh? Begitukah mengejanya? A bit hard to spell it, yeah. Sepertinya Beuxbatonx memang tempat yang cocok baginya, berkumpul bersama anak-anak yang sama cerewetnya dengan Yumi. Aha. Dan itu artinya tidak akan ada yang merecokinya dengan gosip-gosip dengan topik tak penting yang—sama sekali—tidak menarik perhatian Miyu. Tidak ada gunanya. Hanya kabar angin yang belum tentu jelas kebenarannya dan malah akan menjadi masalah kalau sampai salah paham. Cuma kerjaan orang iseng yang kurang kerjaan. No, thanks. Masih banyak hal yang lebih bermanfaat daripada itu.

Manik coklat tuanya menerawang jauh ke beberapa benda persegi panjang warna merah tua yang disambung dengan rantai ukuran jumbo—sangat besar kalau dibandingkan ukuran tubuh Miyu—, sementara salah satu tangan pucatnya menarik sebuah koper sport biru tua dengan beberapa garis putih yang baru dibelinya liburan kemarin. Dan tangan yang satunya memegangi selembar tiket kereta. Hogwarts Express. Satu-satunya kereta akses menuju Hogwarts. Miyu memasuki salah satu gerbong yang letaknya tidak jauh dari kepala kereta. Hanya sekitar dua-tiga gerbong dari sana. Mengikuti jejak seseorang dengan latar belakang yang tidak jauh berbeda dengannya. Sama-sama dari Jepang—berambut hitam dan bermata sipit, khas orang Asia. Who's that? Sure, Nae.

Melihat ransel biru mudanya saja sudah cukup bagi Miyu untuk mengetahui bahwa itu Nae. Ransel yang dikenalinya sejak tahun pertamanya di Hogwarts. Milik sahabatnya, Nae-chan. Gadis yang ramah dan banyak bicara. Satu lagi—suka baca buku. Sedikit bertolak belakang dengan Miyu yang pendiam dan tidak begitu suka dengan buku. Apalagi buku pelajaran. Bukankah komik lebih menarik? Apalagi karya penulis-penulis Jepang yang sudah amat terkenal dan tentunya lebih mudah ia dapatkan—karena di negaranya sendiri. Mungkin lebih beruntung ketimbang anak lain dari luar negri yang mendapatkannya dengan susah payah. Yeah, manga-manga Jepang sudah terkenal sampai mancanegara, rite? Masa tidak tahu sih? Kasihan.

Sedikit kesulitan menarik kopernya ke atas Hogwarts Express dengan undakan yang cukup tinggi, tapi itu tidak menjadi masalah besar baginya. Dalam sekejap ia sudah dipindakan dari atmosfir dunia luar yang ramai dan dipadati murid-murid Hogwarts yang tak henti-hentinya berceloteh ataupun mengucapkan salam perpisahan dengan kedua orangtuanya sebelum berangkat ke Hogwarts. Childish—yeah. –menuju ke sebuah ruangan sempit dengan beberapa anak ruangan lain yang berjejer rapi di dalamnya. Gerbong. Sekarang ia sudah berada di dalam, tinggal mencari dimana sahabatnya itu berada. Berjalan di atas gerbong kereta yang cukup bersih, masih mengenakan setelan kaos converse dipadu celana jins dan juga sepasang sneakers putih bergaris hitam—membuatnya benar-benar terlihat santai dan sporty. Memuas-muaskan memakai pakaian bebas sebelum dikekang peraturan yang mengharuskannya mengenakan jubah hitam panjang layaknya seorang tukang ramal. Euh. Tapi setidaknya jubah Hogwarts masih lebih modern dan bukan termasuk dalam jejeran pakaian kuno di mata Miyu.

Kakinya masih terus berjalan dengan irama teratur seolah ada dirigen di otaknya yang memimpin langkah kakinya. Sementara bagian otaknya yang lain mengontrol manik kecoklatannya adar tetap memerhatikan kompartemen-kompartemen yang berjejer di sebelah kanannya. Beberapa kompartemen ia lewati begitu saja, tanpa ada perasaan tertarik sedikitpun untuk memasukinya.

Shot.

Seorang gadis Asia dengan manik kecoklatan yang mirip dengan milik Miyu—bukan sama, karena mata seperti punya Miyu hanya ada satu di dunia dan hanya miliknya. Dan rambut hitam yang kini mulai memanjang—milik Nae. Miyu membuka pintu kompartemen tersebut tanpa memedulikan tulisan yang tertera di atas pintu—nomor kompartemennya. It’s not important. Seulas senyum tersungging di bibirnya, senyum khusus untuk sahabatnya yang satu itu. “Ada tempat untukku kan?” Ujarnya singkat dan sopan dalam bahasa ibunya—bahasa Jepang. Nae pasti mengerti, rite?

Dengan kompartemen yang masih baru terisi satu orang, lebih leluasa untuk memilih tempat duduk yang nyaman. Perjalanan yang cukup jauh tidak akan menyenangkan kalau tidak dapat tempat yang nyaman. Ia mengambil tempat duduk di depan Nae—supaya lebih mudah untuk berkomunikasi—dan meletakkan koper di sampingnya. Sepertinya ia tidak akan cukup kuat untuk meletakkan kopernya di tempat barang di atas kursi. “Bagaimana liburanmu, Nae-chan?”

Sabtu, 27 Juni 2009

Alone in the Midnight...(Dawny's Birthday)

Jam berapa ini, eh? Jam sebelas? Entahlah. Sepertinya lebih. Gadis sebelas tahun ini bukannya tidak bisa tidur, tapi tepatnya belum ingin tidur. Matanya menerawang jauh dari jendela ukuran sedang--tidak kecil, tapi tidak besar juga--di sisi tempat tidurnya. Yeah, gelap. Hanya ada beberapa pendar bintang memancarkan cahaya kecilnya ditemani gumpalan awan yang terlihat samar-samar. Sekiranya hal itu yang selalu dilihatnya setiap malam saat mau tidur di kamarnya--kecuali kalau cuaca sedang buruk, tentunya. Ingat, kamar Miyu ada di menara, jadi sepertinya ia masih lebih beruntung bisa mendapatkan pemandangan seperti itu kalau dibandingkan dengan yang asramanya ada di bawah sana. Dan inilah salah satu keuntungan masuk ke asrama Ravenclaw. Walaupun yang ia tahu, anak Ravenclaw umumnya merupakan orang-orang yang berwawasan luas dan berkawan dengan setumpuk buku tebal. Sebetulnya, ia tidak begitu berminat pada buku. Tapi entah mengapa sepertinya tidak ada bagian dari dirinya yang memprotes atau tidak terima ia masuk asrama ini. Yeah, semoga saja ia bisa memberikan yang terbaik pada asramanya ini. Hopefully.

Ia masih terpaku menatap langit gelap di hadapannya. Sambil duduk santai di atas lantai batu yang dingin di sebelah tempat tidurnya. Sebenarnya ia sendiri tidak tahu apa yang dilakukannnya sejak tadi yang sepertinya hanya buang-buang waktu itu. Toh juga setiap hari ia sudah cukup puas menyaksikan pemandangan yang sama dan begitu-begitu saja. Tapi...ada satu hal yang belum pernah ia lakukan. Keluar ke halaman saat malam hari. Dalam beberapa bulan ia bersekolah disini, ia memang sudah pernah bermain ke halaman, tapi hanya pada saat pagi atau siang--atau mungkin sore hari. Yeah dear, daripada hanya berdiam diri menatap langit malam yang juga tidak melakukan apa-apa lebih baik jalan-jalan ke halaman dan melakukan sesuatu yang lebih beguna daripada ini. Tapi memangnya ada yang bisa dilakukan di malam hari seperti ini? Di halaman pula. Sepertinya ia akan tertarik melihat danau pada malam hari yang memantulkan cahaya bulan dan bintang-bintang--kalau dibayangkan sepertinya indah. Tapi lihat saja nanti. Dengan santai ia beranjak dari tempat ia duduk tadi dan berjalan santai menuju pintu sembari mengenakan jaketnya. Yeah, sepertinya udara malam di luar sana akan cukup membuatnya menggigil. Perlahan ia membuka pintu kamar yang berisi anak perempuan kelas satu asramanya tersebut setelah sebelumnya memandang ke seisi ruangan dan mendapati semua anak dalam asramanya berada di tempat tidur masing-masing--sepertinya begitu, karena tidak ada cukup cahaya yang bisa membentunya melihat ke seisi ruangan tersebut.

Menuruni satu persatu anak tangga dengan hati-hati dan ia harus bersiap setiap saat karena tidak menutup kemungkinan ia goyah karena tangga yang masih bergerak setiap saat. Dalam cahanya remang-remang ia berusaha memandang dan mencari jalan keluar menuju halaman. Tubuhnya hanya dibalut sepotong celana panjang--bukan jins tentunya, karena hanya akan menambah hawa dingin pada dirinya--, selembar kaos yang tertutup jaket, dan terakhir dialasi dengan sepasang sandal kamar biasa. Yeah, namanya juga orang mau tidur, ya rata-rata penampilannya seperti itu kan?

Tak berapa lama, akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya dengan agak susah. Yeah, mencari dalam kegelapan itu susah, asal kau tahu saja. Dan memang bisa saja sih ia menggunakan tongkat sihirnya untuk mengeluarkan cahaya, tapi ia belum begitu hafal mantra-mantra yang di ajarkan. Daripada salah mantra nantinya, lebih baik ia gunakan penerangan apa adanya saja. Haha. Pasrah sekali ya? Tapi biar begitu sepertinya ia tidak takut bahaya apapun yang mungkin akan ia temui di luar sana. Sejak tadi ia berjalan dengan tenang-tenang saja dari kamarnya di atas sana dan melewati tujuh lantai di kastil. Mungkin hanya sesekali ia harus berpegangan pada tangga ketika tangga-tangga di dalam kastil bergerak dan berubah arah. Tapi itu merupakan hal yang wajar terjadi di Hogwarts, rite? Jadi cepat atau lambat ia juga akan mengalami hal-hal seperti ini.

Ia terus berjalan di atas rerumputan sanbil sesekali merapatkan jaketnya. Untung saja ia masih kepikiran udara dingin di luar sini dan mengenakan jaketnya, karena ternyata hawa di sini memang benar-benar dingin. Tidak usah ditanya. Hening, hanya terdengar langkah kakinya dan suara jangrik yang selalu mengeluarkan suara begitu setiap malamnya. Beberapa menit ia berjalan, dan lama kelamaan aroma garam mulai tersium oleh indra penciumannya. Danau, eh? Ia sedikit ingin tahu bagaimana danau kalau di malam hari. Yeah, ia tahu itu hal konyol, cuma ingin melihat danau begitu saja sampai rela menuruni ribuan tangga apalagi di malam hari begini. Tapi kalau Miyu sudah ingin, apapun juga akan sulit menghalanginya.

"Happy Birthday, Dawn," Hump. Suara apa itu? Ya suara manusia lah. Iya iya, itu memang pasti suara manusia. Dan suara itu membuatnya sedikit kaget--hanya sedikit, tidak sampai membuatnya terlonjak dari tempatnya--dan menghentikan langkahnya. Dilihatnya seorang laki-laki di dekatnya dengan sependar cahaya kecil di depannya. Err, spertinya cahaya itu berasal dari lilin, ya, lilin, yang diletakkkan pada--err, kalau Miyu tidak salah lihat--sebuah kue tart. Perlahan tapi pasti ia mulai mengerti apa yang ada di hadapannya. Yeah. Laki-laki tadi berulang tahun. Dan berarti ini sudah lewat tengah malam, rite? Ia perlu beberapa detik sampai akhirnya cukup jelas melihat laki-laki tadi. Sepertinya ia pernah melihat orang itu, tapi ia tidak tahu siapa dia. Yang jelas ia merupakan seniornya, dan kalau Miyu tidak salah lagi, seasrama dengannya. Kalau tidak salah lho--kalau salah ya...maaf.

"Kau ulang tahun, eh?" Ucapnya pelan pada akhirnya. Biarpun pelan tapi ia yakin laki-laki itu mendengarnya karena di sini sepi sekali. Dan suara kecilpun pasti akan terdengar.

Apologize and Betrayal—Just a Water War in Fall

Kira-kira apa ya yang bisa dilakukan gadis sebelas tahun di sore hari begini? Ada yang punya usul? Entahlah. Ia jadi bosan sendiri terus-terus berada di dalam asramanya yang sepi. Sore-sore begini mestinya tidak ada kelas, tapi sepertinya banyak yang bermain di luar sana--jadi wajar saja kalau asramanya es-e-pe-i--dibaca : sepi. Okelah. Miyu berlebihan, memang. Tapi jujur saja--ia bosan. Memang, ia suka kesepian dan ketenangan, tapi mungkin saat ini ia sedang butuh hiburan. Yeah, mungkin sesuatu yang bisa--err, membuatnya tersenyum? Atau bahkan tertawa--sepertinya. Tapi...tidak ada siapa-siapa. Great. Pada kemana semua sih? Apa perlu Miyu pasang pengumuman kalau ia sedang butuh teman--sekali lagi, TEMAN. Ohm, oke, ini berlebihan memang, yea--Miyu tahu kok.

Sepertinya tidak ada gunanya berdiam diri di dalam asramanya yang sepi ini. Kalau memang perlu hiburan, ya keluar dong, ngapain disini terus? Ah ya, benar juga. Huh. Ia segera melangkahkan kakinya keluar asrama, masih menggunakan seragam Hogwarts--tidak lengkap juga sih, tadi ia sudah melepas dasi dan jubahnya, jadi ya kira-kira hanya tinggal kemeja dan rok--ah ya, dan juga sepatu hitamnya. Sampai di depan pintu asramanya--ah, sepertinya ada sesuatu di bawah sepatunya--dan benar, ia mendapati selembar kertas tergeletak tak berdosa di bawah kakinya. Ia segera mengambil kertas itu, dan membaca isinya.

Quote:
Ke Menara—jika berminat. Ada acara seru—dan hanya orang bodoh yang melewatkannya. Lomba. Ada hadiah untuk pemenangnya.


Menara, eh? Sepertinya ia sudah berada di menara--bukan sepertinya, tapi ya memang Miyu sudah berada di menara, asrama Ravenclaw kan letakanya di menara, rite? Jadi sepertinya tidak jauh dari sini. Acara seru? Hmm, semoga saja akan menjadi seseru yang dibayangkannya. Haha. Manik coklatnya--yeah, khas orang Asia--dengan segera menelusuri apa saja yang masuk dalam pandangannya--hanya di dekat situ, tentu saja. Dan...ah yeah, tidak jauh dari sana ada tiga orang berkumpul dan bercakap-cakap--sepertinya. Tapi masa cuma tiga orang? Kurang seru dong. Tapi tak apalah, setidaknya ia melihat dulu ada acara apa sebenarnya. Yeah.

Kedua kakinya kembali melangkah mendekati tiga sosok yang berdiri di sana. Lihat, apakah acara ini bisa membuat Miyu tertarik, eh? Semoga saja. Dan perlu diketahui, Miyu ikut acara itu bukan karena ia takut dibilang bodoh seperti apa yang dituliskan di selebaran tadi, BUKAN. Tapi ia hanya ingin mencari hiburan untuk dirinya sendiri--dan mungkin juga untuk orang lain. Bahagia itu indah. Ya kan?

"Err, ada acara apa ini?" Ucapnya dengan nada santai--tapi sopan--seperti biasanya kepada ketiga anak di depannya. Dan ia juga berkata sangat lancar dalam bahasa Inggris--padahal ia orang Jepang, tapi sepertinya ia lebih suka menggunakan bahasa Inggris--dan disini memang seharusnya menggunakan bahasa Inggris, rite? This is England, man! Tidak cocok sepertinya kalau ia masih kebiasaan pakai bahasa aslinya, bahasa Jepang. Pasti hanya sedikit orang yang ngerti, rite?

Dua orang perempuan dengan err, pistol, eh? Yeah, pistol air sepertinya--di tangannya masing-masing. Dan yang satu lagi terlihat lebih senior darinya. Mungkin memang benar itu seniornya. Dan...wait! Orang-orang di depannya Asia semua, eh? Termasuk Miyu sendiri, yang juga orang Asia. Haha. Ini kebetulan--atau...? Hmm, entahlah--sepertinya tidak penting. Yang penting, apa yang akan mereka lakukan di sini, eh?

Seleksi Asrama

Segerombolan anak sebaya Miyu berbaris rapih di belakang seorang professor yang menggiring mereka masuk ke dalam aula. Hmm, dan untuk pertama kalinya ia mengenakan jubah hitam khas Hogwarts. Awalnya sih gerah juga dengan baju itu, tapi lama-kelamaan ia terbiasa juga dengan pakaian itu. Di dalam aula besar tersebut ternyata sudah dipadati anak-anak berjubah hitam yang sepertinya akan menjadi seniornya di Hogwarts ini. Hell. Semua mata memerhatikannya. Ia tidak suka menjadi pusat perhatian seperti itu, risih tahu. Walaupun ia tahu bukan cuma dia yang diperhatikan oleh seisi aula tersebut. Banyak anak bersamanya. Tapi tetap saja. Sepertinya setiap gerakan yang ia lakukan harus benar-benar diperhatikan—atau kalau tidak akan tertangkap ribuan pasang mata di sekitarnya. Ah sudahlah, tidak penting. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Seleksi asrama ,eh?

Professor tadi ternyata membawa barisan anak-anak tahun pertama ke depan ruangan. Di depannya sebuah kursi kayu malang berdiri menopang sebuah topi tua dengan robekan di sana-sini. Kumal. Kenapa topi itu tidak diganti, eh? Atau setidaknya dicuci—supaya tidak sekusam itu. Ah, tapi itu bukan urusannya, toh itu juga bukan topi miliknya. Sejenak ia memerhatikan wajah-wajah di sekitarnya, sambil menunggu professor itu selesai berbicara di podium—sambutan, seperti biasa—seperti tidak pernah mendengarkan sambutan saja. Ia sudah bosan. Cukup banyak wajah-wajah asia disana—Miyu termasuk salah satunya. Beberapa di antara mereka sudah pernah ia lihat—mungkin di Diagon Alley atau Leaky Cauldron, entahlah, ia tidak mungkin mengingatnya. Tapi beberapa wajah juga masih asing baginya. Di depan sana tampak wajah-wajah paruh baya—para guru, eh?—yang disini dipanggil dengan sebutan professor. Yang setahu Miyu professor itu kan sebutan bagi para ilmuwan—apa mereka sehebat itu? Entahlah.

Dan kemudian perhatiannya dicuri oleh langit-langit ruangan itu. Benar-benar seperti langit malam sungguhan. Di langit-langit itu juga bertebaran ratusan—mungkin ribuan lilin yang sedang menyala dan melayang-layang bebas, tidak terikat oleh apapun. Great. Ini memang dunia sihir—dan pantas diacungi jempol. Beberapa saat kemudian, Professor tadi menjentikkan jari tangannya dan seketika rasanya seperti ada angin yang berhembus kencang—bukan hanya itu, panji-panji di atas keempat meja panjang juga muncul dan berkibar karena hembusan angin tadi. Hanya. Dengan. Jentikkan. Jari. Yeah, ia belum pernah lihat yang semacam ini sebelumnya.

Dan kemudian entah apa yang dicelotehkan Professor itu—Miyu tidak dengar—maaf saja, ia terlalu asik dengan pikirannya sendiri—bisa dibilang melamun. Namun permen-permen yang bertebaran membuyarkan apa yang dipikirkannya dan mengembalikannya ke alam yang sesungguhnya. Dari mana pula datangnya permen-permen tadi? Entahlah.
“Sedikit suntikan gula akan meredakan kegugupan kalian.” Oh yeah. Tapi sepertinya tanpa permen pun Miyu sudah bisa tenang kok, professor. Sangat tenang, malah. Ia tidak masalah akan masuk asrama mana nantinya—yang pasti ia akan masuk asrama, rite? Terserah. Biar topi butut itu yang memutuskan. Patinya topi itu sudah berpengalaman ratusan atau mungkin ribuan tahun, ya kan?

Singa emas jiwa Gryffindor
Sayap elang milik
Ravenclaw
Rengkuhan hangat,
Hufflepuff ku
Slytherin, si banyak akal..

Reff:
Oh Hogwarts, Hogwarts sekolahku
Sekolah asrama terbaik
Oh Hogwarts ku
Asrama mana... pilihlah aku


Lagu yang singkat—namun ia harus mengakui. Kreatif—dinyanyikan topi usang itu. Dan ia baru menyadari, ternyata topi itu bisa berbicara—bahkan bernyanyi. Kini ia masih berdiri di tengah-tengah barisan murid tahun pertama dengan tenang—tak ada perasaan gugup sedikitpun—seperti mau diapakan saja, pakai gugup-gugupan segala. Dan satu per-satu para murid baru mulai dipanggil. Masing-masing diseleksi oleh topi itu dan kemudian menuju meja asrama masing-masing. Sekarang tinggal menunggu—kapan namanya akan dipanggil.

“Haruhi, Miyu Bethelyen

New Letter

Alunan musik R&B yang mengalir ke telinganya lewat headset yang tersambung ke sebuang benda mungil warna putih—MP3 kesayangannya mengiringi gerak kakinya yang mengayun berirama. Sesekali menghirup nafas panjang, dan menghembuskannya kembali. Yeah, inilah yang biasa dilakukan gadis sebelas tahun ini hampir setiap pagi. Sekirar jam lima pagi ia sudah bersiap dengan celana pendek yang dipadukan dengan kaus dan jaket lalu pergi lari pagi di jalanan kompleks rumahnya.


Terkadang ia juga ditemani kakak lelakinya, Ken, jika ia sedang di rumah, tetapi sekarang saudaranya itu sedang kuliah di Australia dan hanya beberapa bulan sekali ia kembali ke Jepang. Karena itu ia lebih sering lari pagi sendiri sambil mendengarkan musik, atau apabila ia tidak sengaja bertemu tetangganya yang juga sedang lari pagi. Dan Yumi—adiknya yang lebih muda setahun--, bangun pagi saja susah, bisa-bisa ia ketiduran saat lari pagi. Haha. Tentu saja tidak mungkin, rite? Oh, ya, dan kedua orangtuanya juga mungkin terlalu sibuk untuk menemaninya lari pagi. Ayahnya adalah seorang pemilik perusahaan di dunia muggle, entah kenapa ia lebih memilih memimpin perusahaan daripada menerima jabatan-jabatan tinggi yang ditrawarkan kementrian sihir kepadanya. Mr. Haruhi juga merupakan salah satu penyihir hebat loh. Mrs. Haruhi, walaupun ia hanya mengurusi rumah tangga setiap harinya, namun ia sudah cukup sibuk dengan hal itu. Jadi ya…bergitulah kira-kira keadaan keluarga Yumi yang bisa dibilang mewah dan serba berkecukupan.


Biarpun Miyu pergi sendirian, namun ia tidak pernah kesepian atau merasa bosan dengan aktifitas rutinnya itu. Banyak burung-burung yang berkicau dan bermain-main di atas pohon menemaninya, juga beberapa orang tetangganya yang kebetulan berada di luar rumah dan kenal baik dengan Miyu selalu memberi salam padanya. Dan ia juga selalu membalas salam mereka dengan senyum manisnya, ataupun dengan mengucapkan salam balik.

Hari ini ia sudah berlari pagi mengelilingi kompleksnya, tak lupa mampir sebentar ke taman untuk melihat kelinci-kelinci di sana. Beberapa langkah lagi ia sudah akan mencapai pintu gerbang rumahnya. Itu dia rumah Miyu, dengan pagar besi tinggi warna coklat dan halaman depan yang lumayan luas. Jangan ditanya bagaimana dalamnya, yang pasti juga sudah bisa ditebak dengan melihat penampilan luar rumah itu.


“Hosh… Hosh… Hosh…” Ia mengatur kembali nafasnya begitu samapi di depan gerbang rumahnya. Dengan perlahan ia membuka pintu rumahnya, lalu berjalan menuju ‘istananya’ itu dengan tubuh penuh keringat. Begitu membuka pintu, ia langsung disambut suasana sunyi di rumahnya, di ruang makan ada Mum, Dad, dan juga Yumi yang sedang menikmati sarapan pagi mereka. “Pagi semua…” Miyu memecah keheningan dan langsung menghampiri meja makan, kemudian mengambil segelas susu full-cream dingin yang memang telah disediakan untuknya. “Hai sayang, bagaimana lari pagimu kali ini, menyenangkan?” Mrs. Haruhi menyambut ramah putrinya itu. “Hmm, seperti biasanya Mum.” Ucapnya satai.


Tak berapa lama, terdengar bunyi mengetuk jendela depan. Seorang wanita paruh baya yang telah lama bekerja pada keluarga Haruhi segera membuka jendela tersebut. Siapa sih yang iseng mengetuk jendela rumah, bukannya mengetuk pintu? Dan tak sampai semenit kemudian, suatu benda berbulu coklat terbang masuk dan mendarat tepat di atas meja makan, tepatnya, persis di hadapan Miyu. Sepertinya Mum dan Yumi terkejut, hanya Miyu dan Dad saja yang terlihat tenang. Tak ketinggalan B-Dawg, anjing golden retriever kesayangan Miyu yang tidur-tiduran di bawah meja makan juga ikut menggonggong.


Dengan santai dan tenang Miyu mengambil sebuah amplop dari kaki benda berbulu coklat—yang ternyata seekor burung hantu—itu, kemudian membaca tulisan tangan di situ. “Untukku?” Ucap Miyu datar setelah membaca namanya yang tertulis di kertas amplop itu seraya memandang orang-orang di sekelilingnya. Karena penasaran, ia segera membuka amplop itu dan membaca isinya dengan cepat.


SEKOLAH SIHIR HOGWARTS

Kepala sekolah: Julia Claire Felder (Order of Merlin, Kelas Pertama, Konfederasi Sihir Internasional)


Miss Haruhi yang baik, Dengan gembira kami mengabarkan bahwa kami menyediakan tempat untuk Anda di Sekolah Sihir Hogwarts. Terlampir daftar semua buku dan peralatan yang dibutuhkan. Tahun ajaran baru mulai 1 September. Kami menunggu burung hantu Anda paling lambat 31 Juli. Hormat saya, Julia Claire Felder, Kepala Sekolah

SEKOLAH SIHIR HOGWARTS

Seragam
Siswa kelas satu memerlikan:
1. Tiga setel jubah kerja sederhana (hitam)
2. Satu topi kerucut (hitam) untuk dipakai setiap hari
3. Sepasang sarung tangan pelindung (dari kulit naga atau sejenisnya)
4. Satu mantel musim dingin (hitam, kancing perak)
Tolong diperhatikan bahwa semua pakaian siswa harus ada label namanya.

Buku
Semua siswa harus memiliki buku-buku berikut:
Kitab Mantra Standar (Tingkat 1) oleh Miranda Goshawk
Sejarah Sihir oleh Bathilda Bagshot
Teori Ilmu Gaib oleh Adalbert Waffling
Pengantar Transfigurasi Bagi Pemula oleh Emeric Switch
Seribu Satu Tanaman Obat dan Jamur Gaib oleh Phyllida Spore
Cairan dan Ramuan Ajaib oleh Arsenius Jigger
Hewan-hewan Fantastis dan di Mana Mereka Bisa Ditemukan oleh Newt Scamander
Kekuatan Gelap: Penuntun Perlindungan Diri oleh Quentin Trimble

Peralatan lain
1 tongkat sihir
1 kuali (bahan campuran timah putih-timah hitam, ukuran standar 2)
1 set tabung kaca atau kristal
1 teleskop
1 set timbangan kuningan

Siswa diizinkan membawa burung hantu ATAU kucing ATAU kodok

ORANGTUA DIINGATKAN BAHWA SISWA KELAS SATU BELUM BOLEH MEMILIKI SAPU SENDIRI


Sepertinya ia sendiri tidak percaya dengan apa yang tadi dibacanya, namun setelah berpikir sebentar akhirnya raut wajahnya kembali tenang seperti semula. Ia ingat bahwa ia adalah keturunan penyihir, dan para penyihir pada umur sebelas tahun nantinya akan mendapat surat dan bersekolah di Hogwarts, rite? Ia sendiri baru ingat, karena selama ini keluarganya cenderung berkehidupan muggle dan tidak begitu bersikap layaknya seorang penyihir. Hanya ayahnya yang kadang-kadang mengambil sesuatu dengan menggunakan sihir, tapi itupun tidak sering.

“Hmm, baiklah, berarti sebentar lagi aku akan masuk Hogwarts.” Ucap Miyu sambil tersenyum pada Mum, Dad, dan senyum jahil diberikannya pada Yumi. Siap-siaplah kesepian di rumah, nak. Sekarang kedua kakakmu telah menemukan ‘rumah baru’ dan hanya pulang ketika liburan. Itu artinya ia tidak punya teman bermain di rumahnya. Mum dan Dad tersenyum pada Miyu, “Congratulations, dear!” Ucap Dad pada Miyu.

Jumat, 26 Juni 2009

M.I.Y.U ! =))


Name : Miyu Bethelyenn Haruhi

Nick : Miyu

Birthday : April 15th

Blood Status : Pure-Blood

Wand : Willow 29,5 cm inti rambut veela

House : Ravenclaw


Dari luar terlihat 'dingin', namun sebenarnya tidak begitu. Tidak bisa terbuka pada orang yang tidak terlalu dekat dengannya, tapi bisa menjadi terbuka dan baik pada orang yang dekat dengannya. Tidak mau terlalu ambil pusing dengan masalah yang dihadapinya, baginya masalah hanya sebagian kecil dari hidupnya, tidak ada hidup yang tanpa masalah. Tidak banyak bicara dan tegar. Terkadang ia suka menyendiri dan suka ketenangan, tetapi ada saatnya ia sedang ingin bermain atau berteman. Rela berkorban untuk orang yang ia sayangi. Selalu bersikap tenang dan santai, tidak mudah gegabah. Tidak berlebihan, cuek, tetapi tetap perduli pada hal-hal yang dianggap penting baginya dan orang-orang terdekatnya. Dibandingkan dengan yang lain, Miyu bisa dibilang paling dekat dengan kakaknya, dan lebih suka bermain dan bercanda dengan kakak laki-kalinya dibanding dengan adik perempuannya. Mungkin sedikit tomboy, tapi juga tidak parah-parah amat tomboynya, karena ia juga masih suka pada barang-barang perempuan. Mungkin ada sesuatu yang hanya ia sendiri yang tahu dan tidak ingin ia ceritakan pada orang lain.


Anak ke-2 dari tiga bersaudara keluarga Haruhi. Ayahnya seorang pemilik hotel besar di Jepang, dan ibunya juga ikut ambil bagian dalam hotel tersebut. Sebenarnya merupakan keluarga pure-blood, tapi anak-anaknya sudah dibiasakan berkehidupan cara muggle sejak kecil. Jadi jangan heran melihat Miyu yang belum begitu terbiasa dengan dunia sihir padahal ia merupakan pure-blood. Walaupun begitu, keluarga Haruhi tidak membenci penyihir. Yah, sebut saja netral lah. Hanya saja saat lulus dari Hogwarts dulu ayah Miyu lebih memilih untuk berkarir di dunia muggle dan kembali ke asalnya di Jepang. Kakaknya tahun lalu baru saja lulus Hogwarts dan sekarang sedang menjalani kuliahnya secara muggle dan berencana akan mengikuti jejak ayahnya mengurus hotel kepunyaan keluarganya.