Sabtu, 27 Juni 2009

Seleksi Asrama

Segerombolan anak sebaya Miyu berbaris rapih di belakang seorang professor yang menggiring mereka masuk ke dalam aula. Hmm, dan untuk pertama kalinya ia mengenakan jubah hitam khas Hogwarts. Awalnya sih gerah juga dengan baju itu, tapi lama-kelamaan ia terbiasa juga dengan pakaian itu. Di dalam aula besar tersebut ternyata sudah dipadati anak-anak berjubah hitam yang sepertinya akan menjadi seniornya di Hogwarts ini. Hell. Semua mata memerhatikannya. Ia tidak suka menjadi pusat perhatian seperti itu, risih tahu. Walaupun ia tahu bukan cuma dia yang diperhatikan oleh seisi aula tersebut. Banyak anak bersamanya. Tapi tetap saja. Sepertinya setiap gerakan yang ia lakukan harus benar-benar diperhatikan—atau kalau tidak akan tertangkap ribuan pasang mata di sekitarnya. Ah sudahlah, tidak penting. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Seleksi asrama ,eh?

Professor tadi ternyata membawa barisan anak-anak tahun pertama ke depan ruangan. Di depannya sebuah kursi kayu malang berdiri menopang sebuah topi tua dengan robekan di sana-sini. Kumal. Kenapa topi itu tidak diganti, eh? Atau setidaknya dicuci—supaya tidak sekusam itu. Ah, tapi itu bukan urusannya, toh itu juga bukan topi miliknya. Sejenak ia memerhatikan wajah-wajah di sekitarnya, sambil menunggu professor itu selesai berbicara di podium—sambutan, seperti biasa—seperti tidak pernah mendengarkan sambutan saja. Ia sudah bosan. Cukup banyak wajah-wajah asia disana—Miyu termasuk salah satunya. Beberapa di antara mereka sudah pernah ia lihat—mungkin di Diagon Alley atau Leaky Cauldron, entahlah, ia tidak mungkin mengingatnya. Tapi beberapa wajah juga masih asing baginya. Di depan sana tampak wajah-wajah paruh baya—para guru, eh?—yang disini dipanggil dengan sebutan professor. Yang setahu Miyu professor itu kan sebutan bagi para ilmuwan—apa mereka sehebat itu? Entahlah.

Dan kemudian perhatiannya dicuri oleh langit-langit ruangan itu. Benar-benar seperti langit malam sungguhan. Di langit-langit itu juga bertebaran ratusan—mungkin ribuan lilin yang sedang menyala dan melayang-layang bebas, tidak terikat oleh apapun. Great. Ini memang dunia sihir—dan pantas diacungi jempol. Beberapa saat kemudian, Professor tadi menjentikkan jari tangannya dan seketika rasanya seperti ada angin yang berhembus kencang—bukan hanya itu, panji-panji di atas keempat meja panjang juga muncul dan berkibar karena hembusan angin tadi. Hanya. Dengan. Jentikkan. Jari. Yeah, ia belum pernah lihat yang semacam ini sebelumnya.

Dan kemudian entah apa yang dicelotehkan Professor itu—Miyu tidak dengar—maaf saja, ia terlalu asik dengan pikirannya sendiri—bisa dibilang melamun. Namun permen-permen yang bertebaran membuyarkan apa yang dipikirkannya dan mengembalikannya ke alam yang sesungguhnya. Dari mana pula datangnya permen-permen tadi? Entahlah.
“Sedikit suntikan gula akan meredakan kegugupan kalian.” Oh yeah. Tapi sepertinya tanpa permen pun Miyu sudah bisa tenang kok, professor. Sangat tenang, malah. Ia tidak masalah akan masuk asrama mana nantinya—yang pasti ia akan masuk asrama, rite? Terserah. Biar topi butut itu yang memutuskan. Patinya topi itu sudah berpengalaman ratusan atau mungkin ribuan tahun, ya kan?

Singa emas jiwa Gryffindor
Sayap elang milik
Ravenclaw
Rengkuhan hangat,
Hufflepuff ku
Slytherin, si banyak akal..

Reff:
Oh Hogwarts, Hogwarts sekolahku
Sekolah asrama terbaik
Oh Hogwarts ku
Asrama mana... pilihlah aku


Lagu yang singkat—namun ia harus mengakui. Kreatif—dinyanyikan topi usang itu. Dan ia baru menyadari, ternyata topi itu bisa berbicara—bahkan bernyanyi. Kini ia masih berdiri di tengah-tengah barisan murid tahun pertama dengan tenang—tak ada perasaan gugup sedikitpun—seperti mau diapakan saja, pakai gugup-gugupan segala. Dan satu per-satu para murid baru mulai dipanggil. Masing-masing diseleksi oleh topi itu dan kemudian menuju meja asrama masing-masing. Sekarang tinggal menunggu—kapan namanya akan dipanggil.

“Haruhi, Miyu Bethelyen

Tidak ada komentar:

Posting Komentar